Kamis, 02 April 2009

Dualisme bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujatNya


Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *

Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggeris tahun 90 an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.

Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. "Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang perduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! Siapa!" ia berteriak lantang. "Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci". Hadirin pun bersorak.

Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain. Menurut Christian Wolff misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substances," tapi wujud materi dan jiwa tepisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.

Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.

Bagi orang Mesir kuno Re adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat. Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.

Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dsb. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.

Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riel. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras. Banyak itu itupun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.

Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama. Dalam agama Zoaraster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.

Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riel itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance). Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta didunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.

Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esaan-an (tawhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua intitas.

Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat. Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a'mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.

Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dichotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif. Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan subyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua absolut dan relatif. Dalam Islam konsep tawhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang subyek berfikir tawhidi.

Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal, "I slept with him but my heart is with you". Seorang dualis bisa saja berpesan "lakukan apa saja asal dengan niat baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata `jalankan syariah sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah". Kekacauan berfikir inilah kemudian yang melahirkan istilah "penjahat yang santun", "koruptor yang dermawan", "atheis yang baik", "Pelacur yang moralis", dan seterusnya. Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata "Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago". Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujatNya.

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Minggu, 29 Maret 2009

Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami; Ahli Hadis Kontemporer yang Brilian dan Kritis

Oleh Nasrullah Nurdin

(Mahasiswa Darus-Sunnah High Institute for Hadits Sciences)

A. Prolog

Sebagai sebuah prolog dari tulisan ini, penulis ingin mengutarakan bahwa sosok pendekar hadis dari India (The Knight of India) yang ditampilkan ini memang amat berbeda dan lebih unggul bila dibandingkan dengan para tokoh lainnya ketika menimba ilmu di sarang Orientalis. Kenapa? Karena, selain beliau--ada beberapa tokoh lainnya---yang pernah merasakan studi keislaman langsung di tempat Orientalis, di mana mereka itu diakui sebagai Muhaddis ternama karena telah melakukan pembelaan terhadap eksistensi Hadis Nabawi, sebut saja misalnya Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i (W 1949 M) dan Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib (W 1963 M). Ada beberapa faktor yang menyebabkan Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami relatif lebih unggul dan lebih meroket.

Berikut ini penulis uraikan pemaparan lebih detail terkait keistimewaan, kehebatan, dan keunggulan seorang Muhaddis terkemuka pada Abad ini yang disarikan dari berbagai sumber.

B. Mengenal Prof. Dr. M.M Azami Lebih Dekat

1) Sekilas tentang Profilnya

Muhammad Mustafa Azami (dalam versi Arab ditulis: al-A'zhami), itulah nama yang lebih akrab terdengar di telinga kita, salah satu dari sedikit tokoh cendekiawan Muslim kontemporer yang menitikberatkan kajian keilmuannya pada wilayah Hadis dan ilmu Hadis. Beliau mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap kajian keislaman para Orientalis (al-Mustasyriqin) dengan sikap yang kritis. Beliau memang merupakan sosok ulama langka dari yang langka. Mengapa? Karena kajiannya dalam ranah Hadis dan ilmu Hadis dinilai njlimet (cukup rumit) oleh banyak kalangan sehingga banyak dari mereka yang justru cepat-cepat mengambil jarak dari tema yang satu ini.

Syekh Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, begitulah nama lengkapnya. Pendekar hadis masa kini ini lahir di kota Mano, Azamgarh Uttar Pradesh, India Utara, pada tahun 1932. Kata Azami atau al-A'zhami adalah nisbah kepada daerah Azamgarh. Sikapnya yang kritis terhadap pemikiran para Orientalis (al-Mustasyriqin) sampai-sampai ada yang memberinya gelar (laqob) The Knight of India yang berarti 'Pendekar dari India'.

Ayahnya adalah seorang pecinta ilmu dan sangat membenci penjajahan. Namun demikian, ayahnya tidak suka terhadap bahasa Inggris. Hal ini mungkin dapat mudah dipahami, karena bahasa penjajah waktu itu adalah bahasa Inggris. Watak ayahnya ini, rupa-rupanya juga turut mempengaruhi perjalanan studi Dr. M.M. Azami, di mana ketika masih duduk di bangku SLTA beliau diperintahkan untuk pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah pakar Hadis ternama pada abad ini mulai mempelajari Hadis dan hal-hal yang bertalian dengannya.

2) Memotret Karier Akademiknya

Setelah tamat dari sekolah Islam (SLTA), Dr. M.M. Azami kemudian melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam (Islamic Studies). Berkat ketekunan dan keuletannya, akhirnya beliau dapat menamatkan studinya di tahun 1952. Rupanya "hasrat birahi" intelektualnya selalu mendorong dirinya untuk melanjutkan studi lagi ke Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris (pengajaran), di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan lulus tahun 1955. Dengan memperoleh ijazah al-'Alimiyah Universitas al-Azhar, tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.

Lebih lanjut, pada tahun 1956, Dr. M.M. Azami diangkat sebagai dosen bahasa Arab untuk orang-orang non-Arab di Qatar. Kemudian, pada tahun berikutnya yakni tahun 1957 beliau ditunjuk menjadi Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964, Dr. M.M. Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar doktor atau Ph.D pada tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadith Literature with a Critical Edition of Some Early Texts (Kajian seputar Literatur Hadis Masa Dini dengan Kritikal-Edisi sejumlah Naskah Kuno) atau dalam versi Arabnya Dirasat fi al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih atau edisi Indonesianya dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya yang diterjemahkan oleh salah seorang muridnya, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, di mana buku itu diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta. Singkat cerita, kemudian beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula yakni sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional.

Pada tahun selanjutnya, yaitu tahun 1968, beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke kota suci Makkah al-Mukarramah untuk mengajar di Fakultas Pascasarjana, Jurusan Syari'ah dan Studi Islam, Universitas King 'Abd al-'Aziz (kini Universitas Umm al-Qur'an). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri adalah orang yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.

Tepat pada tahun 1973, beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Riyadh (sekarang bernama Universitas King Sa'ud). Di kota inilah, bertepatan tahun 1400 H/1980 M, reputasi ilmiyah Dr. M.M. Azami melejit (mencapai klimaksnya) sedemikian rupa setelah beliau berhasil memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Kini Azami tinggal di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.

3) Keistimewaan, Kehebatan, dan Keunggulannya

Sebenarnya dalam dunia Islam terdapat banyak pakar Hadis masa kini yang sangat berkaliber dan mumpuni yang mana mereka mendapat julukan sebagai pembela eksistensi Hadis kontemporer, di antaranya adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i dengan karyanya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islamy dan Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib dengan hasil buah tangannya al-Sunnah qobla al-Tadwin. Namun demikian, bila dibanding dua tokoh yang disebut terakhir ini, Prof. Dr. M.M Azami mempunyai keistimewaan tersendiri dan memiliki keunggulan di atas rata-rata karena beberapa alasan /faktor.

Pertama, karena karya beliau yang sangat bagus dan mengagumkan yaitu Studies in Early Hadith Literature telah dinyatakan lulus oleh dua tim penguji bertaraf Internasional, masing-masing adalah Tim Penguji dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Tim Penguji dari Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal, Riyadh, Arabi Saudi. Sehingga, pada tahun 1400 H/1980 M, beliau berhasil memenangkan Hadiah Internasional dari Yayasan Raja Faisal dalam bidang studi Islam. Adapun tim penguji kedua ini beranggotakan tokoh-tokoh terkemuka bertaraf Internasional, di antaranya berasal dari Syaikh al-Azhar dan lain-lain.

Melalui metodologi kajian dan analisisnya yang amat mendalam ini, beliau sepertinya memang pantas mendapat kehormatan sebagai pembela eksistensi Hadis masa kini. Dalam disertasi yang ditulisnya itu, beliau dengan gigih berusaha mematahkan serta menumbangkan teori-teori nyeleneh para musuh Islam, membantah para penolak Sunnah (inkar al-Sunnah), meluruskan kesalahan dan kekeliruan mereka dalam memahami Hadis Nabi, dan menangkis pikiran-pikiran Orientalis yang meragukan otentisitas Hadis Rasulullah SAW.

Dalam penelitian ilmiah yang mengantarkannya meraih gelar doktor dalam Ilmu Filsafat di Universitas Cambridge, Inggris, ini, beliau melakukan pembelaan terhadap Hadis Nabawi dengan meng-counter pendapat para Orientalis serta membongkar kepalsuan-kepalsuan mereka secara kritis, lebih objektif, dan lebih argumentatif. Hal ini tentu saja ditopang oleh latar belakang pendidikannya yang masih bersifat tradisional yakni di Mesir dan lebih-lebih diperkaya lagi oleh studinya di Cambridge, Inggris.

Lebih dari itu, ternyata beliau juga mampu mengemukakan segala tanggapan dan bantahannya secara akademis dan komprehensif terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para Orientalis, seperti Joseph Schacht, A.J. Wensinck, dan Ignaz Goldziher, tentang seluk-beluk Hadis yang dinilainya telah menyeleweng atau menyimpang dari koridor aslinya. Beliau tampak sekali berupaya untuk memberikan pembelaan guna mempertahankan hadis-hadis Nabi (Difa' 'an al-Sunnah) sebagai salah satu sumber hukum bagi umat Islam.

Kedua, yang membuat Syekh M.M Azami lebih unggul adalah beliau tidak seperti dua tokoh hebat dan mendunia di atas yang hanya menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Tentunya, di samping belajar di sana, ternyata beliau juga belajar di Universitas Cambridge, Inggris. Di sini, beliau langsung ber-istifadah 'berguru' di sarang Orientalis, dapat mengenali sisi dan lika-liku kehidupan mereka, sehingga dengan demikian dapat mengetahui kelemahan-kelemahannya.

Dan ternyata, setelah keluar (lulus) dari sana, Dr. M.M Azami tidak menjadi terompet serta menjadi penyambung lidah mereka, tapi justru malah menjadi bumerang bagi mereka sendiri, karena beliau telah melakukan serangan balik atas pemikiran-pemikiran Orientalis dalam kajian Hadis. Dua kelebihan dan keunggulan inilah yang tidak dimiliki oleh para pembela Hadis lainnya.

C. Meluluhlantakkan Teori 'Projecting Back'

Bila pada tahun 1949 M Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i dan Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib pada tahun 1963 telah menagkis pikiran-pikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis, maka Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami dalam disertasinya telah membabat habis semua pikiran-pikiran mereka. Secara komprehensif, Dr. M.M Azami telah mematahkan argumen-argumen Orientalis serta merobohkan teori-teorinya.

Mereka, para Orientalis seperti Robson, Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan lain-lain, terutama sekali Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, tidak luput dari serangan balik yang dilancarkan kembali oleh Dr. M.M Azami. Adapun Orientalis yang paling parah dihajar Dr. M.M Azami adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, karena dua komandan ini dinilai yang paling berpengaruh dalam hal pembabatan Hadis Nabi, baik di kalangan Orientalis sendiri maupun di kalangan sementara Cendekiawan Muslim.

Prof. Dr. Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa Hadis--terutama yang berkaitan dengan hukum Islam--adalah hasil bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijri. Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengetengahkan teori 'Projecting Back' (Proyeksi ke Belakang) yaitu menisbahkan atau mengaitkan pendapat para Ahli Fiqh abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fiqh telah mengaitkan pendapatnya dengan para tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi SAW, sehingga membentuk sanad hadis.

Untuk menghancurkan teori Schacht ini, Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus terntang hadis-hadis Nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abu Shalih (W 138 H). Abu Shalih (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah, sahabat Nabi SAW. Karenanya, sanad atau transmisi hadis dalam naskah itu berbentuk: dari Nabi SAW>>Abu Hurairah>>Abu Shalih>>Suhail.

Naskah Suhail ini berisi 40 Hadis. Sementara Dr. M.M Azami meneliti para perawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqoh al-tsalitsah) termasuk tentang jumlah dan domisili mereka. Beliau membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka berpencar-pencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.

Dengan demikian, Dr. M.M Azami berksimpulan sangat mustahil menurut situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan beliau ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad hadis maupun bunyi teks hadis (matan). Wallahu A'lam bi al-Showab.