Minggu, 29 Maret 2009

Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami; Ahli Hadis Kontemporer yang Brilian dan Kritis

Oleh Nasrullah Nurdin

(Mahasiswa Darus-Sunnah High Institute for Hadits Sciences)

A. Prolog

Sebagai sebuah prolog dari tulisan ini, penulis ingin mengutarakan bahwa sosok pendekar hadis dari India (The Knight of India) yang ditampilkan ini memang amat berbeda dan lebih unggul bila dibandingkan dengan para tokoh lainnya ketika menimba ilmu di sarang Orientalis. Kenapa? Karena, selain beliau--ada beberapa tokoh lainnya---yang pernah merasakan studi keislaman langsung di tempat Orientalis, di mana mereka itu diakui sebagai Muhaddis ternama karena telah melakukan pembelaan terhadap eksistensi Hadis Nabawi, sebut saja misalnya Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i (W 1949 M) dan Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib (W 1963 M). Ada beberapa faktor yang menyebabkan Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami relatif lebih unggul dan lebih meroket.

Berikut ini penulis uraikan pemaparan lebih detail terkait keistimewaan, kehebatan, dan keunggulan seorang Muhaddis terkemuka pada Abad ini yang disarikan dari berbagai sumber.

B. Mengenal Prof. Dr. M.M Azami Lebih Dekat

1) Sekilas tentang Profilnya

Muhammad Mustafa Azami (dalam versi Arab ditulis: al-A'zhami), itulah nama yang lebih akrab terdengar di telinga kita, salah satu dari sedikit tokoh cendekiawan Muslim kontemporer yang menitikberatkan kajian keilmuannya pada wilayah Hadis dan ilmu Hadis. Beliau mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap kajian keislaman para Orientalis (al-Mustasyriqin) dengan sikap yang kritis. Beliau memang merupakan sosok ulama langka dari yang langka. Mengapa? Karena kajiannya dalam ranah Hadis dan ilmu Hadis dinilai njlimet (cukup rumit) oleh banyak kalangan sehingga banyak dari mereka yang justru cepat-cepat mengambil jarak dari tema yang satu ini.

Syekh Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, begitulah nama lengkapnya. Pendekar hadis masa kini ini lahir di kota Mano, Azamgarh Uttar Pradesh, India Utara, pada tahun 1932. Kata Azami atau al-A'zhami adalah nisbah kepada daerah Azamgarh. Sikapnya yang kritis terhadap pemikiran para Orientalis (al-Mustasyriqin) sampai-sampai ada yang memberinya gelar (laqob) The Knight of India yang berarti 'Pendekar dari India'.

Ayahnya adalah seorang pecinta ilmu dan sangat membenci penjajahan. Namun demikian, ayahnya tidak suka terhadap bahasa Inggris. Hal ini mungkin dapat mudah dipahami, karena bahasa penjajah waktu itu adalah bahasa Inggris. Watak ayahnya ini, rupa-rupanya juga turut mempengaruhi perjalanan studi Dr. M.M. Azami, di mana ketika masih duduk di bangku SLTA beliau diperintahkan untuk pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah pakar Hadis ternama pada abad ini mulai mempelajari Hadis dan hal-hal yang bertalian dengannya.

2) Memotret Karier Akademiknya

Setelah tamat dari sekolah Islam (SLTA), Dr. M.M. Azami kemudian melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan studi Islam (Islamic Studies). Berkat ketekunan dan keuletannya, akhirnya beliau dapat menamatkan studinya di tahun 1952. Rupanya "hasrat birahi" intelektualnya selalu mendorong dirinya untuk melanjutkan studi lagi ke Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris (pengajaran), di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan lulus tahun 1955. Dengan memperoleh ijazah al-'Alimiyah Universitas al-Azhar, tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya, India.

Lebih lanjut, pada tahun 1956, Dr. M.M. Azami diangkat sebagai dosen bahasa Arab untuk orang-orang non-Arab di Qatar. Kemudian, pada tahun berikutnya yakni tahun 1957 beliau ditunjuk menjadi Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964, Dr. M.M. Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar doktor atau Ph.D pada tahun 1966 dengan disertasi berjudul Studies in Early Hadith Literature with a Critical Edition of Some Early Texts (Kajian seputar Literatur Hadis Masa Dini dengan Kritikal-Edisi sejumlah Naskah Kuno) atau dalam versi Arabnya Dirasat fi al-Hadis al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih atau edisi Indonesianya dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya yang diterjemahkan oleh salah seorang muridnya, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, di mana buku itu diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta. Singkat cerita, kemudian beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula yakni sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional.

Pada tahun selanjutnya, yaitu tahun 1968, beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke kota suci Makkah al-Mukarramah untuk mengajar di Fakultas Pascasarjana, Jurusan Syari'ah dan Studi Islam, Universitas King 'Abd al-'Aziz (kini Universitas Umm al-Qur'an). Beliau, bersama al-Marhum Dr. Amin al-Mishri adalah orang yang ikut andil mendirikan fakultas tersebut.

Tepat pada tahun 1973, beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Riyadh (sekarang bernama Universitas King Sa'ud). Di kota inilah, bertepatan tahun 1400 H/1980 M, reputasi ilmiyah Dr. M.M. Azami melejit (mencapai klimaksnya) sedemikian rupa setelah beliau berhasil memenangkan Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Kini Azami tinggal di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.

3) Keistimewaan, Kehebatan, dan Keunggulannya

Sebenarnya dalam dunia Islam terdapat banyak pakar Hadis masa kini yang sangat berkaliber dan mumpuni yang mana mereka mendapat julukan sebagai pembela eksistensi Hadis kontemporer, di antaranya adalah Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i dengan karyanya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islamy dan Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib dengan hasil buah tangannya al-Sunnah qobla al-Tadwin. Namun demikian, bila dibanding dua tokoh yang disebut terakhir ini, Prof. Dr. M.M Azami mempunyai keistimewaan tersendiri dan memiliki keunggulan di atas rata-rata karena beberapa alasan /faktor.

Pertama, karena karya beliau yang sangat bagus dan mengagumkan yaitu Studies in Early Hadith Literature telah dinyatakan lulus oleh dua tim penguji bertaraf Internasional, masing-masing adalah Tim Penguji dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Tim Penguji dari Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal, Riyadh, Arabi Saudi. Sehingga, pada tahun 1400 H/1980 M, beliau berhasil memenangkan Hadiah Internasional dari Yayasan Raja Faisal dalam bidang studi Islam. Adapun tim penguji kedua ini beranggotakan tokoh-tokoh terkemuka bertaraf Internasional, di antaranya berasal dari Syaikh al-Azhar dan lain-lain.

Melalui metodologi kajian dan analisisnya yang amat mendalam ini, beliau sepertinya memang pantas mendapat kehormatan sebagai pembela eksistensi Hadis masa kini. Dalam disertasi yang ditulisnya itu, beliau dengan gigih berusaha mematahkan serta menumbangkan teori-teori nyeleneh para musuh Islam, membantah para penolak Sunnah (inkar al-Sunnah), meluruskan kesalahan dan kekeliruan mereka dalam memahami Hadis Nabi, dan menangkis pikiran-pikiran Orientalis yang meragukan otentisitas Hadis Rasulullah SAW.

Dalam penelitian ilmiah yang mengantarkannya meraih gelar doktor dalam Ilmu Filsafat di Universitas Cambridge, Inggris, ini, beliau melakukan pembelaan terhadap Hadis Nabawi dengan meng-counter pendapat para Orientalis serta membongkar kepalsuan-kepalsuan mereka secara kritis, lebih objektif, dan lebih argumentatif. Hal ini tentu saja ditopang oleh latar belakang pendidikannya yang masih bersifat tradisional yakni di Mesir dan lebih-lebih diperkaya lagi oleh studinya di Cambridge, Inggris.

Lebih dari itu, ternyata beliau juga mampu mengemukakan segala tanggapan dan bantahannya secara akademis dan komprehensif terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para Orientalis, seperti Joseph Schacht, A.J. Wensinck, dan Ignaz Goldziher, tentang seluk-beluk Hadis yang dinilainya telah menyeleweng atau menyimpang dari koridor aslinya. Beliau tampak sekali berupaya untuk memberikan pembelaan guna mempertahankan hadis-hadis Nabi (Difa' 'an al-Sunnah) sebagai salah satu sumber hukum bagi umat Islam.

Kedua, yang membuat Syekh M.M Azami lebih unggul adalah beliau tidak seperti dua tokoh hebat dan mendunia di atas yang hanya menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Tentunya, di samping belajar di sana, ternyata beliau juga belajar di Universitas Cambridge, Inggris. Di sini, beliau langsung ber-istifadah 'berguru' di sarang Orientalis, dapat mengenali sisi dan lika-liku kehidupan mereka, sehingga dengan demikian dapat mengetahui kelemahan-kelemahannya.

Dan ternyata, setelah keluar (lulus) dari sana, Dr. M.M Azami tidak menjadi terompet serta menjadi penyambung lidah mereka, tapi justru malah menjadi bumerang bagi mereka sendiri, karena beliau telah melakukan serangan balik atas pemikiran-pemikiran Orientalis dalam kajian Hadis. Dua kelebihan dan keunggulan inilah yang tidak dimiliki oleh para pembela Hadis lainnya.

C. Meluluhlantakkan Teori 'Projecting Back'

Bila pada tahun 1949 M Prof. Dr. Mustafa al-Siba'i dan Dr. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib pada tahun 1963 telah menagkis pikiran-pikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis, maka Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami dalam disertasinya telah membabat habis semua pikiran-pikiran mereka. Secara komprehensif, Dr. M.M Azami telah mematahkan argumen-argumen Orientalis serta merobohkan teori-teorinya.

Mereka, para Orientalis seperti Robson, Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan lain-lain, terutama sekali Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, tidak luput dari serangan balik yang dilancarkan kembali oleh Dr. M.M Azami. Adapun Orientalis yang paling parah dihajar Dr. M.M Azami adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, karena dua komandan ini dinilai yang paling berpengaruh dalam hal pembabatan Hadis Nabi, baik di kalangan Orientalis sendiri maupun di kalangan sementara Cendekiawan Muslim.

Prof. Dr. Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa Hadis--terutama yang berkaitan dengan hukum Islam--adalah hasil bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijri. Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengetengahkan teori 'Projecting Back' (Proyeksi ke Belakang) yaitu menisbahkan atau mengaitkan pendapat para Ahli Fiqh abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fiqh telah mengaitkan pendapatnya dengan para tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi SAW, sehingga membentuk sanad hadis.

Untuk menghancurkan teori Schacht ini, Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus terntang hadis-hadis Nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abu Shalih (W 138 H). Abu Shalih (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah, sahabat Nabi SAW. Karenanya, sanad atau transmisi hadis dalam naskah itu berbentuk: dari Nabi SAW>>Abu Hurairah>>Abu Shalih>>Suhail.

Naskah Suhail ini berisi 40 Hadis. Sementara Dr. M.M Azami meneliti para perawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqoh al-tsalitsah) termasuk tentang jumlah dan domisili mereka. Beliau membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka berpencar-pencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.

Dengan demikian, Dr. M.M Azami berksimpulan sangat mustahil menurut situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan beliau ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad hadis maupun bunyi teks hadis (matan). Wallahu A'lam bi al-Showab.